PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap
manusia pasti membutuhkan tanah, karena tanah merupakan tempat berpijak dan
melakukan kelangsungan hidup sehari-hari seperti untuk tempat tinggal,
mendirikan bangunan bahkan sampai manusia meninggal dunia pasti membutuhkan
tanah. Karena adanya hubungan yang erat antara m
anusia dengan tanah, maka
manusia berlomba-lomba untuk menguasai dan memiliki bidang tanah yang
diinginkan yang mempunyai nilai ekonomis bagi segala aspek kehidupan manusia.
Di dalam bidang pertanahan dalam hal berlakunya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) Nomor 5
tahun 1960 pemerintah mempunyai tanggung jawab yang besar yaitu mengenai
pelayanan kepada masyarakat tentang pelaksanaan dan pendaftaran tanah di Indonesia.
Dalam hal ini UUPA masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah, disamping itu
masalah pertanahan yang dihadapi tidak semakin berkurang, namun justru bertambah
dalam kompleksitasnya.
Sebelum
berlakunya UUPA, Indonesia menggunakan sistem dari pemerintahan kolonial yang
biasanya di sebut sistem barat untuk mengakui suatu kepemilikan tanah. Pemerintah Kolonial menganggap semua tanah yang ada di Indonesia
adalah milik penguasa kolonial. Dengan memberlakukan azas domein verklaring,
dengan arti bahwa semua tanah-tanah tidak dapat dibuktikan siapa pemiliknya
adalah menjadi tanah Negara. Dalam praktek fungsi domein verklaring dalam
perundang-undangan pertanahan pemerintah kolonial Belanda adalah :
a. Sebagai landasan hukum bagi Pemerintah yang mewakili Negara sebagai
pemilik tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur dalam
KUUHPdt, seperti hak erfacht, hak opstal dan lain-lainnya. Dalam rangka domein
verklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara
pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah.
b.
Bidang pembuktian pemilikan.
Untuk mendapatkan
pengakuan penguasaan dan pemilikan tanah pasa saat belum berlakunya UUPA,
pemerintah memberikan hak kepada rakyat untuk dengan leluasa menikmati kegunaan suatu
benda dan untuk berbuat bebas terhadap benda yang bersangkutan dengan kekuasaan
yang sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan Perundang-undangan lainnya yang di tetapkan oleh penguasa
yang berwenang dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; semuanya itu terkecuali
pencabutan hak untuk kepentingan umum, dengan pemberian ganti kerugian yang
layak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak ini biasa
disebut dengan Hak Eigendom. Namun, setelah berlakunya UUPA di Indonesia muncul
berbagai masalah mengenai penguasaan tanah hak eigendom.
UUPA No.5 Tahun 1960 sebagai
bentuk UU baru tentang ketentuan pokok agraria yang dikenal dengan UUPA,
berlaku sebagai induk dari segenap peraturan pertanahan di Indonesia. UUPA ini mengandung asas
(prinsip) bahwa semua hak atas tanah dikuasi oleh negara, dan asas bahwa hak
milik atas tanah “dapat dicabut untuk kepentingan umum”. Kedua prinsip tersebut
dengan tegas telah dituangkan dalam pasal 2 dan pasal 18 UUPA. Berdasarkan
pasal 2 UUPA ini negara menjadi pengganti semua pihak yang mengaku sebagai
penguasa tanah yang sah. Negara dalam hal ini merupakan lembaga hukum sebagai
organisasi seluruh rakyat Indonesia.
Pemerintah sebagai lembaga pelaksana UU negara dalam proses ini bertindak
sebagai pihak yang melaksanakan dan menerapkan ketentuan yang terdapat dalam
pasal 2 UUPA tersebut. UUPA tidak memperhatikan pandangan,
kebiasaan maupun perilaku masyarakat mengenai pemikiran, nilai-nilai dan
pengharapan yang merupakan budaya hukum dalam masyarakat. Seharusnya UUPA dapat
berfungsi sebagai pengontrolan perilaku masyarakat dalam sistem hukum yang
berlaku. Bahkan fungsi hukum merupakan fungsi redistribusi (redistributive
function) atau fungsi rekayasa sosial (social engineering function)
yang mengarah pada penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang
berencana, dan ditentukan dari atas yaitu oleh pemerintah, dengan memperhatikan
budaya hukum yang hidup dalam masyarakat.
Masalah tanah adalah masalah yang menyangkut hak
rakyat yang paling dasar. Tanah disamping mempunyai nilai ekonomis juga
berfungsi sosial, oleh karena itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut
dikorbankan guna kepentingan umum. Ini dilakukan dengan pelepasan hak atas
tanah dengan mendapat ganti rugi yang tidak berupa uang semata akan tetapi juga
berbentuk tanah atau fasilitas lain. Dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan UUPA ataupun
peraturan-peraturan lain yang relevan, pada umumnya tidak dilengkapi dengan
pemikiran yang tuntas terhadap peraturan pelaksanaannya. Sehingga dapat
dikatakan bahwa tanah merupakan hal yang penting bagi kelangsungan kehidupan
bangsa Indonesia,
sehingga dari waktu ke waktu akan terjadi ataupun muncul suatu permasalahan-
permasalahan mengenai pertanahan yang sering timbul di dalam masyarakat. Timbulnya
masalah-masalah tanah bukannya disebabkan karena tidak adanya peraturan
perundangan yang memadai, bukannya tidak ada manusia yang mampu
melaksanakannya, melainkan lebih banyak disebabkan oleh kurangnya menguasai dan
menghayati bidang keagrariaan atau pertanahan. Sehingga dalam pengalamannya
terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku, maka
dalam hal ini diperlukan cara pandang dan pola pikir yang terarah.
Seperti
halnya dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, pada pasal 4 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa : atas
dasar hak menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai baik secara sendirian maupun secara bersama-sama dengan
orang lain serta badan badan hukum, dimana hak atas tanah ini memberi wewenang
untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sedemikian rupa, begitu pula bumi
dan air serta ruang udara di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut
UUPA. Dalam hal ini hak milik sebagai hak yang turun-temurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, terdapat pula hak guna bangunan,
hak guna usaha, hak pakai, hak sewa, hak membuka hutan, hak memungut
hasil hutan dan hak-hak lainnya yang telah ditetapkan dengan Undang-undang.
Selain hak milik mempunyai hak yang turun-temurun, terkuat dan terpenuh juga
dikatakan bahwa hak milik mempunyai kekuatan hukum yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan hak pakai, karena pemegang hak milik sudah tidak perlu memperpanjang
jangka waktu hak atas tanahnya, hal ini berbeda dengan hak pakai yang memiliki
keterbatasan dalam jangka waktu yang pada suatu saat akan berakhir.
Tanah menjadi objek yang rawan terhadap
perselisihan atau sengketa antar manusia, hal ini terjadi karena kebutuhan
manusia akan tanah semakin meningkat, namun persediaan tanah relatif tetap.
Sengketa tanah dalam masyarakat setiap tahun semakin meningkat dan terjadi
hampir di seluruh daerah di Indonesia
baik di perkotaan maupun di pedesaan. Kasus pertanahan yang sering terjadi bila
dilihat dari konflik kepentingan para pihak dalam sengketa pertanahan antara
lain :
1.
Rakyat berhadapan dengan
birokrasi
2.
Rakyat berhadapan dengan perusahaan
Negara
3.
Rakyat berhadapan dengan
perusahaan swasta
4.
Konflik antara rakyat
Hampir
di setiap daerah yang terdapat sengketa tanah, para pihak yang terkait dan
berwenang menangani permasalahan tersebut menyelesaikan dengan berbagai cara.
Cara penyelesaian sengketa yang telah ditempuh selama ini adalah melalui
pengadilan (litigasi) dan penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non
litigasi).
Sertipikatpun di terbitkan untuk
mengukuhkan suatu tanah atau bangunan sebagai tanda bukti kepemilikan dan
pengusaan tanah tersebut. Hak untuk
menggunakan dan/ atau memungut hasil tanah dari oranglain ( Hak Pakai ) juga
diatur dalam UUPA pasal 41 ayat (1) dan (3). Pasal 42 UUPA menyatakan bahwa
yang dapat mempunyai Hak Pakai ialah :
1.
Warga
negara Indonesia;
2.
Orang asing
yang berkedudukan di Indonesia;
3.
Badan hukum
yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
4.
Badan hukum
asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Sebelum adanya UUPA, hak atas tanah di Indonesia menganut
dan mengikuti hukum Belanda. Sehingga, muncullah tanah-tanah Hak Barat seperti
tanah Hak Eigendom.
Maka
berdasarkan uraian di atas, penulis dalam hal ini merasa tertarik untuk membuat
makalah dengan judul : “ PENYELESAIAN
SENGKETA PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH BEKAS HAK EIGENDOM”
B.
Rumusan
Masalah
Perumusan masalah digunakan untuk memudahkan
melakukan pembahasan searah dengan tujuan yang diterapkan. Berdasarkan uraian
di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah :
1.
Apa arti dari sengketa tanah ?
2.
Bagaimana kronologis terjadinya kasus
sengketa penguasaan dan pemilikan tanah
bekas Hak Eigendom ?
3.
Bagaimana penyelesaian kasus
sengketa penguasaan dan pemilikan tanah
bekas Hak Eigendom ?
C.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di
atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1.
Untuk menambah wawasan dan
pengetahuan mengenai sengketa tanah dan cara menanganinya.
2.
Untuk mengetahui kronologis
terjadinya suatu sengketa penguasaan dan pemilikan tanah guna menambah
pengetahuan penulis serta pembaca.
3.
Untuk mengetahui peran serta
Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam kasus ini dan mengetahui bagaimana
penyelesaian terbaik terhadap tanah yang dijadikan obyek sengketa tersebut.
PEMBAHASAN
KASUS SENGKETA PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH BEKAS HAK EIGENDOM
A.
Memahami
Pengertian Sengketa Tanah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sengketa
adalah segala sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertikaian atau
perbantahan. Sengketa merupakan kelanjutan dari konflik, sedangkan konflik itu
sendiri adalah suatu perselisihan antara dua pihak, tetapi perselisihan itu
hanya dipendam dan tidak diperlihatkan dan apabila perselisihan itu
diberitahukan kepada pihak lain maka akan menjadi sengketa. Timbulnya sengketa
hukum mengenai tanah berawal dari pengaduan suatu pihak (orang atau badan
hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik
terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat
memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan
yang berlaku. Sifat permasalahan dari suatu sengketa secara umum ada beberapa
macam, antara lain :
a.
Masalah yang menyangkut
prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang
berstatus hak, atau atas tanah yang belum ada haknya;
b.
Bantahan terhadap sesuatu alas
hak/bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak;
c.
Kekeliruan/kesalahan pemberian
hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang atau tidak benar;
d.
Sengketa atau masalah lain yang
mengandung aspek-aspek sosial praktis.
Alasan yang sebenarnya menjadi tujuan akhir dari
sengketa bahwa ada pihak yang lebih berhak dari yang lain (prioritas) atas
tanah yang disengketakan, oleh karena itu penyelesaian sengketa hukum terhadap
sengketa tersebut tergantung dari sifat permasalahan yang diajukan dan
prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh suatu
keputusan. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut
adalah sangat bervariasi yang antara lain :
1.
Harga tanah yang meningkat dengan cepat
2.
Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan
kepentingan / haknya.
3.
Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan
kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa
dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan;
perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain
sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang
diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat
diberikan respons / reaksi / penyelesaian kepada yang berkepentingan
(masyarakat dan pemerintah).
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau
dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu : Timbulnya
sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan)
yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap
status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh
penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang
berlaku.
B.
Kronologis
Kasus Sengketa Penguasaan dan Pemilikan Tanah
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan /
keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan
terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah
ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan
Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka
atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin
mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta
merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi
terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat /
Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan
Nasional.
Kasus ini berawal dari tanah yang
semula merupakan tanah bekas hak eigendom. Hukum pertanahan
di Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum yang bersifat kolonial dan feodal
sebagai akibat selama ratusan tahun dijajah oleh belanda, sehingga ada dua
macam tanah yaitu tanah-tanah dengan hak barat dengan tanah-tanah dengan hak
adat, yang berakibat pada perbedaan dalam peralihannya termasuk pada
perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada pemilik tanah yang bersangkutan.
Salah satu pengakuan hukum pemerinta terhadap tanah yaitu dengan adanya hak
eigendom. Hak Eigendom adalah hak untuk dengan leluasa menikmati kegunaan
suatu benda dan untuk berbuat bebas terhadap benda yang bersangkutan dengan
kekuasaan yang sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan
peraturan Perundang-undangan lainnya yang di tetapkan oleh penguasa yang
berwenang dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; semuanya itu terkecuali
pencabutan hak untuk kepentingan umum, dengan pemberian ganti kerugian yang
layak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tanah bekas
eigendom yaitu tanah yang hak pemilikan dan penggunaannya di cabut oleh
penguasa yang berwenang. Tanah eigendom ini terkena ketentuan Undang-Undang
nomor 1 tahun 1958 dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri kepada
bekas pemegang haknya diberikan ganti rugi berupa uang, sedangkan terhadap
tanahnya ditetapkan sebagai tanah yang langsung di kuasai olen Negara dan di
sebut tanah bekas eigendom. Kemudian, tanah bekas eigendom ini dimohonkan Hak
Pakai kepada Menteri Dalam Negeri dan terbitlah sertipikat Hak Pakai. Hak Pakai
adalah Hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah orang lain,
yaitu : milik orang lain atau tanah Negara, yang bukan perjanjian sewa-menyewa
dan pula perjanjian mengolah tanah. Hak Pakai dimohonkan untuk memberi
kewenangan menggunakan tanah yang bukan miliknya sendiri. Namun, sertipikat Hak
Pakai ini kemudian di batalkan karena terdapat kekeliruan mengenai letak tanah
yang diuraikan dalam sertipikatnya. Penguasapun menggunakan kekeliruan ini
untuk menetapkan tanah tersebut kembali menjadi tanah yang langsung di kuasai
oleh Negara.
Perlu diingatkan, bahwa Negara
tidaklah “memiliki” tanah melainkan “menguasai” tanah untuk kemakmuran rakyat. Menteri
Dalam Negeri yang melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) segera memperbaiki
sertipikat tersebut sehingga sertipikat Hak Pakaipun dapat terbit dengan masa
berlaku hingga 10 (sepuluh) tahun. Pada kenyataannya, sebelum masa Hak Pakai
berakhir, tanah bekas eigendom ini di ajukan menjadi sertipikat Hak Milik oleh
orang yang telah mengajukan permohonan Hak Pakai diatas. Sertipikat Hak
Milikpun terbit atas nama perseorangan. Ada
sebuah pertanyaan yang muncul pada kasus ini. Mengapa bisa terbit sertipikat
Hak Milik diatas tanah Hak Pakai yang masa pengunaananya belum berakhir?
Imbas dari
penerbitan sertipikat Hak Milik ini adalah munculnya pengaduan dari pihak-pihak
yang mengakui sebagai ahli waris pemilik tanah bekas eigendom. Adapun
pihak-pihak yang mengakui sebagai ahli waris yaitu :
1.
Ahli waris yang masing-masing kelompok ahli waris tersebut
menduduki sebagian Hak Milik dengan cara mendirikan bangunan, melaksanakan
pemagaran dan memasang papan berisikan pernyataan bahwa tanah tersebut adalah
milik ahli waris.
2.
Ahli waris yang mengaku menerima hibah tanah eigendom dari
presiden Soekarno.
Dalam hal ini, pihak perorangan atau badan hukum yang merasa
kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada kepala
Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pengaduan ini dikirim ke Badan Pertanahan
Nasional yang selanjutnya pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini dan
akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap kasus yang diadukan
tersebut.
C.
Penyelesaian
Kasus Sengketa Penguasaan dan Pemilikan Tanah Bekas Hak Eigendom
Permasalahan tanah makin kompleks dari hari ke
hari, sebagai akibat meningkatnya kebutuhan manusia akan ruang. Oleh karena itu
pelaksanaan dan implementasi Undang-Undang Pokok Agraria di lapangan menjadi
makin tidak sederhana. Persaingan mendapatkan ruang (tanah) telah memicu
konflik baik secara vertikal maupun horizontal yang makin menajam. Meski
demikian perlu disadari bahwa sengketa pertanahan sesungguhnya bukanlah hal
baru. Tanah tidak saja dipandang sebagai alat produksi semata melainkan juga
sebagai alat untuk berspekulasi (ekonomi) sekarang ini kelihatannya tanah sudah
menjadi alat komoditi perdagangan yang dapat dipertukarkan. Sebagaimana
diketahui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 di dalam Pasal 2, mengenai Hak
menguasai negara atas tanah telah diuraikan bahwa kewenangan-kewenangan dari
negara tersebut adalah berupa:
a.
Mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
b.
Menentukan dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang
angkasa
c.
Menentukan dan mengatur hubungan
hukum antara orang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Berdasarkan
wewenang tersebut, walaupun secara tegas tidak diatur, namun wewenang untuk
menyelesaikan konflik atau sengketa adalah ada pada Negara Republik Indonesia
yang kewenangannya diserahkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Ketentuan-ketentuan yang dapat dipergunakan sebagai landasan operasional dan
berfungsi untuk penyelesaian sengketa hukum atas tanah. Menurut Nader dan Todd
dalam bukunya Sulastriyono,
para pihak dapat mengembangkan beberapa strategi atau alternatif dalam
menyelesaikan sengketa seperti :
a.
Lumping it atau
membiarkan saja kasus itu berlalu dan mengangap tidak perlu diperpanjang.
b.
Avoidance atau
mengelak yaitu para pihak yang merasa dirugikan memilih untuk tidak berhubungan
lagi dengan pihak yang merugikan.
c.
Coercion atau
paksaan yaitu satu pihak memaksakan pemecahan pada pihak lain, misalnya debt
collector
d.
Negotiation atau
negosiasi yaitu dua pihak berhadapan merupakan cara pengambil keputusan
e.
Mediation atau
mediasi adalah campur tangan dari pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa
tanpa memperdulikan bahwa kedua belah pihak yang bersengketa meminta bantuan
atau tidak. Orang yang bertindak sebagai mediator seperti Kepala Desa/Camat,
Kepala Pemerintah dan Hakim dan sebagainya
f.
Arbitration atau
arbiterasi yaitu jika kedua belah pihak ketiga yakni arbitrator/arbiter untuk
menyelesaikan sengketa dan sejak semula sepakat akan menerima keputusan apapun
dari arbitratos tersebut.
g.
Adjudication atau
pengajuan sengketa ke pengadilan yaitu adanya campur tangan dari pihak ketiga
(pengadilan) untuk menyelesaikan sengketa dan hasilnya ditaati oleh para pihak
yang bersengketa.
Menurut
Harsono berbagai kasus-kasus pertanahan, dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok yaitu pertama sebagai sengketa yang terjadi di luar badan pengadilan,
pada umumnya diusahakan untuk dapat diselesaikan oleh aparat BPN. Dan kedua
sengketa yang timbul karena terjadinya sengketa perdata, atau terjadi sengketa
Tata Usaha Negara dan penyelesaiannya dilakukan melalui Pengadilan negeri atau
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Bertitik tolak dari hal-hal diatas dapat
disimpulkan bahwa tidak semua sengketa dapat diselesaikan dengan satu jenis
pemecahan. Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa dapat dikelompokkan dalam tiga
kelompok utama yakni yang pertama dilakukan oleh salah satu pihak, kedua
dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa saja, dan yang ketiga melibatkan
pihak ketiga. Suatu sengketa hak atas tanah itu timbul adalah karena adanya
pengaduan/keberatan dari orang/Badan Hukum yang berisi kebenaran dan tuntutan
terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan yang telah
ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan
Nasional, dimana keputusan tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas
suatu bidang tanah tertentu. Prosedur yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan
sengketa tersebut, para pihak dapat meminta bantuan kepada instansi BPN dengan
tahapan sebagai berikut :
a. Pengaduan/Keberatan dari Masyarakat
b. Penelitian
dan Pengumpulan Data
c. Pencegahan Mutasi (Penetapan Status Quo)
d. Pelayanan secara Musyawarah
e. Pencabutan/Pembatalan Surat Keputusan Tata Usaha
Negara dibidang Pertanahan oleh Kepala BPN berdasarkan adanya cacat hukum
/administrasi di dalam penerbitannya
f.
Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Melalui
Pengadilan
Untuk kasus sengketa penguasaan dan pemilikan tanah
yang telah di bahas di atas, tindak lanjut yang telah dilakukan Gelar Perkara
di Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan Kantor Pertanahan
setempat menyarankan :
a.
Bahwa
para pemilik Hak Milik agar melakukan penguasaan atas bidang-bidang tanah
dengan cara melaksanakan pemagaran dan melakukan pengawasan secara rutin, baik
secara langsung maupun melalui pihak lain.
b.
Bahwa
terhadap penguasaan pihak ahli waris agar melakukan koordinasi dengan pihak
kepolisian, Pemerintah daerah dan masyarakat atau tokoh setempat dikarenakan
penguasaan fisik maupun pembangunan tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
c.
Bahwa
untuk membuktikan kebenaran data administrasi dan yuridis pihak-pihak yang
mengaku sebagai pemilik tanah eigendom verponding agar yang bersangkutan
membuktikan kebenarannya melalui lembaga peradilan.
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan data yang di peroleh tentang penyelesaian
sengketa penguasaan dan pemilikan tanah bekas hak eigendom, maka dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.
Tanah-tanah
hak barat ( tanah atau status tanah yang muncul pada saat belum berlakunya
Undang-undang Pokok Agraria di Indonesia ) banyak menimbulkan kesalahpahaman
dan masalah pertanahan. Hal ini disebabkan karena tanah-tanah hak barat seperti
tanah eigendom tidak mempunyai bukti-bukti autentik mengenai pengusaan dan
kepemilikan tanah. Sehingga, tanah-tanah hak barat (hak eigendom) bertentangan
dengan aturan penguasaan tanah yang tercantum pada undang-undang pokok agraria
yang berlaku saat ini.
2.
Sengketa
ini muncul karena adanya pihak-pihak yang mengaku sebagai ahli waris pemilik tanah
bekas hak eigendom, yang berawal dari pemerintah atau Badan Pertanahan yang
menerbitkan sertipikat hak milik di atas tanah hak pakai dimana tanah hak pakai
ini belum selesai masa penggunaan atau pemakaiannya.
3.
Penyelesaian
kasus sengketa ini ada dua jalan yaitu jalan musyawarah yang di selesaikan oleh
pihak yang bersengketa dengan media atau bantuan dari Badan Pertanahan Nasional
dan melalui jalan Pengadilan Negeri / Pengadilan Tata Usaha. Badan Pertanahan
Nasional juga memberikan beberapa solusi untuk menyelesaikan kasus tersebut,
supaya masalah atau sengketa yang muncul tidak semakin berkepanjangan.
SARAN
Pemerintah
seharusnya lebih memperhatikan masalah penguasaan tanah bekas hak eigendom.
Sehingga, kepastian hukum mengenai pemilikan tanah bekas hak eigendom dapat
tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Sitorus, Oloan dan H.M. Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia Konsep Dasar dan
Implementasi, Cetakan Perdana, Penerbit Mitra Kebijakan Tanah Indonesia,
Yogyakarta.
Harsono, Boedi, 2005,
Hukum Agraria di Indonesia Sejarah
Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Cetakan
Kesepuluh (Edisi Revisi) 2005, Penerbit Djambatan, Jakarta.
B.
Majalah dan/atau Makalah
.......................,
2007, Sasana Widyabumi (SANDI) Media
Komunikasi dan Informasi Pertanahan, Edisi XXV, Penerbit Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional, Yogyakarta.
.......................,
2007, Sasana Widyabumi (SANDI) Media
Komunikasi dan Informasi Pertanahan, Edisi XXVI, Penerbit Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional, Yogyakarta.
Irin Siam
Musnita, SH
C. Peraturan
Perundang-undangan
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
Agraria.
D.
Internet
okeee....dulu aja.
BalasHapus