Rabu, 07 Desember 2011

HAK EIGENDHOM

PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang Masalah

Setiap manusia pasti membutuhkan tanah, karena tanah merupakan tempat berpijak dan melakukan kelangsungan hidup sehari-hari seperti untuk tempat tinggal, mendirikan bangunan bahkan sampai manusia meninggal dunia pasti membutuhkan tanah. Karena adanya hubungan yang erat antara m
anusia dengan tanah, maka manusia berlomba-lomba untuk menguasai dan memiliki bidang tanah yang diinginkan yang mempunyai nilai ekonomis bagi segala aspek kehidupan manusia. Di dalam bidang pertanahan dalam hal berlakunya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) Nomor 5 tahun 1960 pemerintah mempunyai tanggung jawab yang besar yaitu mengenai pelayanan kepada masyarakat tentang pelaksanaan dan pendaftaran tanah di Indonesia. Dalam hal ini UUPA masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah, disamping itu masalah pertanahan yang dihadapi tidak semakin berkurang, namun justru bertambah dalam kompleksitasnya.
Sebelum berlakunya UUPA, Indonesia menggunakan sistem dari pemerintahan kolonial yang biasanya di sebut sistem barat untuk mengakui suatu kepemilikan tanah. Pemerintah Kolonial menganggap semua tanah yang ada di Indonesia adalah milik penguasa kolonial. Dengan memberlakukan azas domein verklaring, dengan arti bahwa semua tanah-tanah tidak dapat dibuktikan siapa pemiliknya adalah menjadi tanah Negara. Dalam praktek fungsi domein verklaring dalam perundang-undangan pertanahan pemerintah kolonial Belanda adalah :
a. Sebagai landasan hukum bagi Pemerintah yang mewakili Negara sebagai pemilik tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUUHPdt, seperti hak erfacht, hak opstal dan lain-lainnya. Dalam rangka domein verklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah.
b. Bidang pembuktian pemilikan.
Untuk mendapatkan pengakuan penguasaan dan pemilikan tanah pasa saat belum berlakunya UUPA, pemerintah memberikan hak kepada rakyat untuk dengan leluasa menikmati kegunaan suatu benda dan untuk berbuat bebas terhadap benda yang bersangkutan dengan kekuasaan yang sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan Perundang-undangan lainnya yang di tetapkan oleh penguasa yang berwenang dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; semuanya itu terkecuali pencabutan hak untuk kepentingan umum, dengan pemberian ganti kerugian yang layak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak ini biasa disebut dengan Hak Eigendom. Namun, setelah berlakunya UUPA di Indonesia muncul berbagai masalah mengenai penguasaan tanah hak eigendom.
UUPA No.5 Tahun 1960 sebagai bentuk UU baru tentang ketentuan pokok agraria yang dikenal dengan UUPA, berlaku sebagai induk dari segenap peraturan pertanahan di Indonesia. UUPA ini mengandung asas (prinsip) bahwa semua hak atas tanah dikuasi oleh negara, dan asas bahwa hak milik atas tanah “dapat dicabut untuk kepentingan umum”. Kedua prinsip tersebut dengan tegas telah dituangkan dalam pasal 2 dan pasal 18 UUPA. Berdasarkan pasal 2 UUPA ini negara menjadi pengganti semua pihak yang mengaku sebagai penguasa tanah yang sah. Negara dalam hal ini merupakan lembaga hukum sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah sebagai lembaga pelaksana UU negara dalam proses ini bertindak sebagai pihak yang melaksanakan dan menerapkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 2 UUPA tersebut. UUPA tidak memperhatikan pandangan, kebiasaan maupun perilaku masyarakat mengenai pemikiran, nilai-nilai dan pengharapan yang merupakan budaya hukum dalam masyarakat. Seharusnya UUPA dapat berfungsi sebagai pengontrolan perilaku masyarakat dalam sistem hukum yang berlaku. Bahkan fungsi hukum merupakan fungsi redistribusi (redistributive function) atau fungsi rekayasa sosial (social engineering function) yang mengarah pada penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana, dan ditentukan dari atas yaitu oleh pemerintah, dengan memperhatikan budaya hukum yang hidup dalam masyarakat.
Masalah tanah adalah masalah yang menyangkut hak rakyat yang paling dasar. Tanah disamping mempunyai nilai ekonomis juga berfungsi sosial, oleh karena itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut dikorbankan guna kepentingan umum. Ini dilakukan dengan pelepasan hak atas tanah dengan mendapat ganti rugi yang tidak berupa uang semata akan tetapi juga berbentuk tanah atau fasilitas lain. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan UUPA ataupun peraturan-peraturan lain yang relevan, pada umumnya tidak dilengkapi dengan pemikiran yang tuntas terhadap peraturan pelaksanaannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa tanah merupakan hal yang penting bagi kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia, sehingga dari waktu ke waktu akan terjadi ataupun muncul suatu permasalahan- permasalahan mengenai pertanahan yang sering timbul di dalam masyarakat. Timbulnya masalah-masalah tanah bukannya disebabkan karena tidak adanya peraturan perundangan yang memadai, bukannya tidak ada manusia yang mampu melaksanakannya, melainkan lebih banyak disebabkan oleh kurangnya menguasai dan menghayati bidang keagrariaan atau pertanahan. Sehingga dalam pengalamannya terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku, maka dalam hal ini diperlukan cara pandang dan pola pikir yang terarah.
Seperti halnya dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, pada pasal 4 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa : atas dasar hak menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai baik secara sendirian maupun secara bersama-sama dengan orang lain serta badan badan hukum, dimana hak atas tanah ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sedemikian rupa, begitu pula bumi dan air serta ruang udara di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut UUPA. Dalam hal ini hak milik sebagai hak yang turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, terdapat pula hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa, hak membuka hutan, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lainnya yang telah ditetapkan dengan Undang-undang. Selain hak milik mempunyai hak yang turun-temurun, terkuat dan terpenuh juga dikatakan bahwa hak milik mempunyai kekuatan hukum yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan hak pakai, karena pemegang hak milik sudah tidak perlu memperpanjang jangka waktu hak atas tanahnya, hal ini berbeda dengan hak pakai yang memiliki keterbatasan dalam jangka waktu yang pada suatu saat akan berakhir.
Tanah menjadi objek yang rawan terhadap perselisihan atau sengketa antar manusia, hal ini terjadi karena kebutuhan manusia akan tanah semakin meningkat, namun persediaan tanah relatif tetap. Sengketa tanah dalam masyarakat setiap tahun semakin meningkat dan terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia baik di perkotaan maupun di pedesaan. Kasus pertanahan yang sering terjadi bila dilihat dari konflik kepentingan para pihak dalam sengketa pertanahan antara lain :
1.      Rakyat berhadapan dengan birokrasi
2.      Rakyat berhadapan dengan perusahaan Negara
3.      Rakyat berhadapan dengan perusahaan swasta
4.      Konflik antara rakyat
Hampir di setiap daerah yang terdapat sengketa tanah, para pihak yang terkait dan berwenang menangani permasalahan tersebut menyelesaikan dengan berbagai cara. Cara penyelesaian sengketa yang telah ditempuh selama ini adalah melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non litigasi).
            Sertipikatpun di terbitkan untuk mengukuhkan suatu tanah atau bangunan sebagai tanda bukti kepemilikan dan pengusaan tanah tersebut. Hak untuk menggunakan dan/ atau memungut hasil tanah dari oranglain ( Hak Pakai ) juga diatur dalam UUPA pasal 41 ayat (1) dan (3). Pasal 42 UUPA menyatakan bahwa yang dapat mempunyai Hak Pakai ialah :
1.      Warga negara Indonesia;
2.      Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
3.      Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
4.      Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Sebelum adanya UUPA, hak atas tanah di Indonesia menganut dan mengikuti hukum Belanda. Sehingga, muncullah tanah-tanah Hak Barat seperti tanah Hak Eigendom.
 Maka berdasarkan uraian di atas, penulis dalam hal ini merasa tertarik untuk membuat makalah dengan judul : “ PENYELESAIAN SENGKETA PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH BEKAS HAK EIGENDOM

B.       Rumusan Masalah

Perumusan masalah digunakan untuk memudahkan melakukan pembahasan searah dengan tujuan yang diterapkan. Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah :
1.      Apa arti dari sengketa tanah ?
2.      Bagaimana kronologis terjadinya kasus sengketa penguasaan dan pemilikan tanah bekas Hak Eigendom ?
3.      Bagaimana penyelesaian kasus sengketa penguasaan dan pemilikan tanah bekas Hak Eigendom ?

C.       Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1.    Untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai sengketa tanah dan cara menanganinya.
2.    Untuk mengetahui kronologis terjadinya suatu sengketa penguasaan dan pemilikan tanah guna menambah pengetahuan penulis serta pembaca.
3.    Untuk mengetahui peran serta Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam kasus ini dan mengetahui bagaimana penyelesaian terbaik terhadap tanah yang dijadikan obyek sengketa tersebut.










PEMBAHASAN KASUS SENGKETA PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH BEKAS HAK EIGENDOM

A.       Memahami Pengertian Sengketa Tanah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sengketa adalah segala sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertikaian atau perbantahan. Sengketa merupakan kelanjutan dari konflik, sedangkan konflik itu sendiri adalah suatu perselisihan antara dua pihak, tetapi perselisihan itu hanya dipendam dan tidak diperlihatkan dan apabila perselisihan itu diberitahukan kepada pihak lain maka akan menjadi sengketa. Timbulnya sengketa hukum mengenai tanah berawal dari pengaduan suatu pihak (orang atau badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Sifat permasalahan dari suatu sengketa secara umum ada beberapa macam, antara lain :
a.      Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak, atau atas tanah yang belum ada haknya;
b.      Bantahan terhadap sesuatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak;
c.       Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang atau tidak benar;
d.      Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis.
Alasan yang sebenarnya menjadi tujuan akhir dari sengketa bahwa ada pihak yang lebih berhak dari yang lain (prioritas) atas tanah yang disengketakan, oleh karena itu penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa tersebut tergantung dari sifat permasalahan yang diajukan dan prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh suatu keputusan. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain :
1.      Harga tanah yang meningkat dengan cepat
2.      Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan / haknya.
3.      Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons / reaksi / penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah).
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu : Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.


B.       Kronologis Kasus Sengketa Penguasaan dan Pemilikan Tanah
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kasus ini berawal dari tanah yang semula merupakan tanah bekas hak eigendom. Hukum pertanahan di Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum yang bersifat kolonial dan feodal sebagai akibat selama ratusan tahun dijajah oleh belanda, sehingga ada dua macam tanah yaitu tanah-tanah dengan hak barat dengan tanah-tanah dengan hak adat, yang berakibat pada perbedaan dalam peralihannya termasuk pada perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada pemilik tanah yang bersangkutan. Salah satu pengakuan hukum pemerinta terhadap tanah yaitu dengan adanya hak eigendom. Hak Eigendom adalah hak untuk dengan leluasa menikmati kegunaan suatu benda dan untuk berbuat bebas terhadap benda yang bersangkutan dengan kekuasaan yang sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan Perundang-undangan lainnya yang di tetapkan oleh penguasa yang berwenang dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; semuanya itu terkecuali pencabutan hak untuk kepentingan umum, dengan pemberian ganti kerugian yang layak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tanah bekas eigendom yaitu tanah yang hak pemilikan dan penggunaannya di cabut oleh penguasa yang berwenang. Tanah eigendom ini terkena ketentuan Undang-Undang nomor 1 tahun 1958 dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri kepada bekas pemegang haknya diberikan ganti rugi berupa uang, sedangkan terhadap tanahnya ditetapkan sebagai tanah yang langsung di kuasai olen Negara dan di sebut tanah bekas eigendom. Kemudian, tanah bekas eigendom ini dimohonkan Hak Pakai kepada Menteri Dalam Negeri dan terbitlah sertipikat Hak Pakai. Hak Pakai adalah Hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah orang lain, yaitu : milik orang lain atau tanah Negara, yang bukan perjanjian sewa-menyewa dan pula perjanjian mengolah tanah. Hak Pakai dimohonkan untuk memberi kewenangan menggunakan tanah yang bukan miliknya sendiri. Namun, sertipikat Hak Pakai ini kemudian di batalkan karena terdapat kekeliruan mengenai letak tanah yang diuraikan dalam sertipikatnya. Penguasapun menggunakan kekeliruan ini untuk menetapkan tanah tersebut kembali menjadi tanah yang langsung di kuasai oleh Negara.
Perlu diingatkan, bahwa Negara tidaklah “memiliki” tanah melainkan “menguasai” tanah untuk kemakmuran rakyat. Menteri Dalam Negeri yang melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) segera memperbaiki sertipikat tersebut sehingga sertipikat Hak Pakaipun dapat terbit dengan masa berlaku hingga 10 (sepuluh) tahun. Pada kenyataannya, sebelum masa Hak Pakai berakhir, tanah bekas eigendom ini di ajukan menjadi sertipikat Hak Milik oleh orang yang telah mengajukan permohonan Hak Pakai diatas. Sertipikat Hak Milikpun terbit atas nama perseorangan. Ada sebuah pertanyaan yang muncul pada kasus ini. Mengapa bisa terbit sertipikat Hak Milik diatas tanah Hak Pakai yang masa pengunaananya belum berakhir?
            Imbas dari penerbitan sertipikat Hak Milik ini adalah munculnya pengaduan dari pihak-pihak yang mengakui sebagai ahli waris pemilik tanah bekas eigendom. Adapun pihak-pihak yang mengakui sebagai ahli waris yaitu :
1.      Ahli waris yang masing-masing kelompok ahli waris tersebut menduduki sebagian Hak Milik dengan cara mendirikan bangunan, melaksanakan pemagaran dan memasang papan berisikan pernyataan bahwa tanah tersebut adalah milik ahli waris.
2.      Ahli waris yang mengaku menerima hibah tanah eigendom dari presiden Soekarno.
Dalam hal ini, pihak perorangan atau badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pengaduan ini dikirim ke Badan Pertanahan Nasional yang selanjutnya pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini dan akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap kasus yang diadukan tersebut.

C.       Penyelesaian Kasus Sengketa Penguasaan dan Pemilikan Tanah Bekas Hak Eigendom

Permasalahan tanah makin kompleks dari hari ke hari, sebagai akibat meningkatnya kebutuhan manusia akan ruang. Oleh karena itu pelaksanaan dan implementasi Undang-Undang Pokok Agraria di lapangan menjadi makin tidak sederhana. Persaingan mendapatkan ruang (tanah) telah memicu konflik baik secara vertikal maupun horizontal yang makin menajam. Meski demikian perlu disadari bahwa sengketa pertanahan sesungguhnya bukanlah hal baru. Tanah tidak saja dipandang sebagai alat produksi semata melainkan juga sebagai alat untuk berspekulasi (ekonomi) sekarang ini kelihatannya tanah sudah menjadi alat komoditi perdagangan yang dapat dipertukarkan. Sebagaimana diketahui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 di dalam Pasal 2, mengenai Hak menguasai negara atas tanah telah diuraikan bahwa kewenangan-kewenangan dari negara tersebut adalah berupa:
a.      Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
b.      Menentukan dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
c.       Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Berdasarkan wewenang tersebut, walaupun secara tegas tidak diatur, namun wewenang untuk menyelesaikan konflik atau sengketa adalah ada pada Negara Republik Indonesia yang kewenangannya diserahkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Ketentuan-ketentuan yang dapat dipergunakan sebagai landasan operasional dan berfungsi untuk penyelesaian sengketa hukum atas tanah. Menurut Nader dan Todd dalam bukunya Sulastriyono, para pihak dapat mengembangkan beberapa strategi atau alternatif dalam menyelesaikan sengketa seperti :
a.      Lumping it atau membiarkan saja kasus itu berlalu dan mengangap tidak perlu diperpanjang.
b.      Avoidance atau mengelak yaitu para pihak yang merasa dirugikan memilih untuk tidak berhubungan lagi dengan pihak yang merugikan.
c.       Coercion atau paksaan yaitu satu pihak memaksakan pemecahan pada pihak lain, misalnya debt collector
d.      Negotiation atau negosiasi yaitu dua pihak berhadapan merupakan cara pengambil keputusan
e.      Mediation atau mediasi adalah campur tangan dari pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa tanpa memperdulikan bahwa kedua belah pihak yang bersengketa meminta bantuan atau tidak. Orang yang bertindak sebagai mediator seperti Kepala Desa/Camat, Kepala Pemerintah dan Hakim dan sebagainya
f.        Arbitration atau arbiterasi yaitu jika kedua belah pihak ketiga yakni arbitrator/arbiter untuk menyelesaikan sengketa dan sejak semula sepakat akan menerima keputusan apapun dari arbitratos tersebut.
g.      Adjudication atau pengajuan sengketa ke pengadilan yaitu adanya campur tangan dari pihak ketiga (pengadilan) untuk menyelesaikan sengketa dan hasilnya ditaati oleh para pihak yang bersengketa.
Menurut Harsono berbagai kasus-kasus pertanahan, dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu pertama sebagai sengketa yang terjadi di luar badan pengadilan, pada umumnya diusahakan untuk dapat diselesaikan oleh aparat BPN. Dan kedua sengketa yang timbul karena terjadinya sengketa perdata, atau terjadi sengketa Tata Usaha Negara dan penyelesaiannya dilakukan melalui Pengadilan negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara.
Bertitik tolak dari hal-hal diatas dapat disimpulkan bahwa tidak semua sengketa dapat diselesaikan dengan satu jenis pemecahan. Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok utama yakni yang pertama dilakukan oleh salah satu pihak, kedua dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa saja, dan yang ketiga melibatkan pihak ketiga. Suatu sengketa hak atas tanah itu timbul adalah karena adanya pengaduan/keberatan dari orang/Badan Hukum yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, dimana keputusan tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tertentu. Prosedur yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa tersebut, para pihak dapat meminta bantuan kepada instansi BPN dengan tahapan sebagai berikut :
a.      Pengaduan/Keberatan dari Masyarakat
b.       Penelitian dan Pengumpulan Data
c.       Pencegahan Mutasi (Penetapan Status Quo)
d.      Pelayanan secara Musyawarah
e.      Pencabutan/Pembatalan Surat Keputusan Tata Usaha Negara dibidang Pertanahan oleh Kepala BPN berdasarkan adanya cacat hukum /administrasi di dalam penerbitannya
f.         Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Melalui Pengadilan
Untuk kasus sengketa penguasaan dan pemilikan tanah yang telah di bahas di atas, tindak lanjut yang telah dilakukan Gelar Perkara di Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan Kantor Pertanahan setempat menyarankan :
a.    Bahwa para pemilik Hak Milik agar melakukan penguasaan atas bidang-bidang tanah dengan cara melaksanakan pemagaran dan melakukan pengawasan secara rutin, baik secara langsung maupun melalui pihak lain.
b.    Bahwa terhadap penguasaan pihak ahli waris agar melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian, Pemerintah daerah dan masyarakat atau tokoh setempat dikarenakan penguasaan fisik maupun pembangunan tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
c.    Bahwa untuk membuktikan kebenaran data administrasi dan yuridis pihak-pihak yang mengaku sebagai pemilik tanah eigendom verponding agar yang bersangkutan membuktikan kebenarannya melalui lembaga peradilan.




PENUTUP

KESIMPULAN

            Berdasarkan data yang di peroleh tentang penyelesaian sengketa penguasaan dan pemilikan tanah bekas hak eigendom, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.      Tanah-tanah hak barat ( tanah atau status tanah yang muncul pada saat belum berlakunya Undang-undang Pokok Agraria di Indonesia ) banyak menimbulkan kesalahpahaman dan masalah pertanahan. Hal ini disebabkan karena tanah-tanah hak barat seperti tanah eigendom tidak mempunyai bukti-bukti autentik mengenai pengusaan dan kepemilikan tanah. Sehingga, tanah-tanah hak barat (hak eigendom) bertentangan dengan aturan penguasaan tanah yang tercantum pada undang-undang pokok agraria yang berlaku saat ini.
2.      Sengketa ini muncul karena adanya pihak-pihak yang mengaku sebagai ahli waris pemilik tanah bekas hak eigendom, yang berawal dari pemerintah atau Badan Pertanahan yang menerbitkan sertipikat hak milik di atas tanah hak pakai dimana tanah hak pakai ini belum selesai masa penggunaan atau pemakaiannya.
3.      Penyelesaian kasus sengketa ini ada dua jalan yaitu jalan musyawarah yang di selesaikan oleh pihak yang bersengketa dengan media atau bantuan dari Badan Pertanahan Nasional dan melalui jalan Pengadilan Negeri / Pengadilan Tata Usaha. Badan Pertanahan Nasional juga memberikan beberapa solusi untuk menyelesaikan kasus tersebut, supaya masalah atau sengketa yang muncul tidak semakin berkepanjangan.

SARAN
           
            Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan masalah penguasaan tanah bekas hak eigendom. Sehingga, kepastian hukum mengenai pemilikan tanah bekas hak eigendom dapat tercapai.






















DAFTAR PUSTAKA

A.     Buku-buku

Sitorus, Oloan dan H.M. Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia Konsep Dasar dan Implementasi, Cetakan Perdana, Penerbit Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta.

Harsono, Boedi, 2005, Hukum Agraria di Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Cetakan Kesepuluh (Edisi Revisi) 2005, Penerbit Djambatan, Jakarta.

B. Majalah dan/atau Makalah

......................., 2007, Sasana Widyabumi (SANDI) Media Komunikasi dan Informasi Pertanahan, Edisi XXV, Penerbit Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta.

......................., 2007, Sasana Widyabumi (SANDI) Media Komunikasi dan Informasi Pertanahan, Edisi XXVI, Penerbit Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta.

Irin Siam Musnita, SH

C. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
Agraria.

D. Internet





1 komentar: